Pages

Minggu, 17 Mei 2015

Deep talk with Mitch Albom in Tuesdays with Morrie



Aku tidak tahu cara mengucapkan perpisahan
~Mitch Albom



Heheuheu.. Blog saya sudah banyak sarang laba-laba ternyata. Huffttt. Udah 16 hari gak dikunjungi. Kemana aja sih, Naya? Ahhh.. iyah kemarin-kemarin lagi agak-agak sok sibuk Kasian laptopku. Dia sampai-sampai curhat di postingan ini. Huahaha.

Tapi, walaupun menghilang dari dunia tulis menulis blog, proses kreatif terus berjalan kok. Azeeek. Ya harus kan. Salah satunya adalah membaca dan menghayati sampai dalam beberapa buku. Ah ini dia kebiasaan itu, berpikir mendalam. Heuheuheu. Eh tapi saya setuju dengan quote dari diri saya sendiri yang berbunyi: “Membaca itu belum tentu mendengarkan. Kalau mendengarkan pasti membaca.” What does it mean? Iyah, kalau membaca, hanya sekedar menelusuri huruf demi huruf dan sekedar tahu. Tapi ketika proses membaca melibatkan proses mendengarkan, saya biasanya akan memikirkan lalu mempraktekkannya sedikit-sedikit lalu menganalisa dari sudut pandang saya. Hahaha. Ribet banget ya? Ah, saya suka ko yang ribet-ribet :P 

Salah satu buku yang indah sekali yang gak bosen-bosennya saya baca adalah buku “Tuesdays with Morrie” by Mitch Bloom. Buku ini saya temukan di dalam sebuah novel berjudul “L”. Novel seru dan asyik yang harus deh dibaca. Dalam novel “L” ini tokohnya membahas tentang novel ‘Tuesdays with Morrie” dan entah kenapa my gut feeling langsung bilang: Naya, you should read this book! Okay and then I got it. My feeling is right. I love that book. 

Ini nih beberapa kata yang bikin saya rada-rada melongo sesaat.

# The tension of opposites. Hidup ini merupakan rangkaian peristiwa menarik dan mengulur. Suatu saat kita ingin mengerjakan satu hal, padahal kita perlu mengerjakan sesuatu yang lain.  Ada sesuatu yang membuat kita sakit, namun kita tahu bahwa seharusnya tidak demikian. Kita menerima hal-hal tertentu begitu saja, bahkan meskipun kita tahu bahwa seharusnya kita tidak pernah menikmati sesuatu secara cuma-cuma.

# ... kadang-kadang kita tak boleh percaya kepada yang kita lihat, kita harus percaya kepada yang kita rasakan. Dan jika kita ingin orang lain percaya kepada kita, kita harus merasa bahwa kita dapat mempercayai mereka juga, bahkan meskipun kita sedang dalam kegelapan. Bahkan ketika kita sedang terjatuh.

# Kebanyakan kita hidup seperti orang yang berjalan sambil tidur. Kita sesungguhnya tidak menghayati dunia ini secara penuh, karena kita separuh terlelap, mengerjakan semuanya yang terpikir oleh kita.

#... Jika kau menerima bahwa kau dapat mati kapan saja barangkali kau tak akan seambisius sekarang.

# Seperti kata penyair besar Auden, “Saling mencintai atau punah dari muka bumi.”

# ... Tapi mematikan perasaan tidak berarti kita tidak membiarkan pengalaman meresap ke dalam diri kita. Sebaliknya kita membiarkan pengalaman meresap secara penuh. Itulah sebabnya kita dapat mematikan rasa.
Ah masih banyak pokoknya. Tapi itu yang paling saya suka. Kenapa saya gak bercerita tentang apa sih bukunya disini, hihihihi.. udah banyak banget reviewnya, sila googling yah manteman. Ssegitu aja dulu seportasenya yah. Keep reading ya.



~Naya

0 komentar:

Posting Komentar