skip to main |
skip to sidebar
Tuan Lelaki Tak Bernama
Hai.
Aku bingung harus memanggilmu apa. Ah sudahlah, mungkin tak terlalu penting juga buatmu.
Di usiaku yg 24 tahun, bisa terhitung sudah berapa kali dalam hidupku bertemu denganmu. Bisa dihitung jari. Bahkan jari sebelah tangan. Tak perlu keduanya.
Anak lain seusiaku tentu berbeda. Bertemu dengan lelaki yang mereka cinta, tak terhitung. Bisa jadi 365 hari dikalikan 24. Silahkan hitung jadi berapa hari. Ya, karena seorang anak bertemu dengan lelaki yang dicintainya, ayahnya, setiap hari tidak terdengar aneh, bukan? walau cukup aneh untukku.
Anak bertemu dengan lelaki yang dicintainya, ayahnya. Cinta? Cintakah aku padamu? Memanggil kamu saja aku kebingungan. Apalagi memikirkan soal apakah aku mencintaimu atau tidak. Bingunglah aku. Aku memanggil lelaki tak bernama saja, ya.
Tuan Lelaki Tak Bernama. Itu terdengar lebih keren, bukan? Karena panggilan Ayah, Bapak, Papah, Abi, atau entah apa lagi macamnya, hanya ditujukan bagi dia, seseorang yang punya makna, punya kontribusi terhadap kelangsungan hidup aku, punya arti.
Lebih cocok ditujukan pula bagi dia, yang seharusnya mengumandangkan adzan di telinga kananku saat aku lahir.
Lebih cocok pula bagi dia, yang mengantarkan aku ke sekolah untuk pertama kalinya, membantu menenangkan aku ketika grogi di hari pertama sekolah. Dan kamu, sudah melakukan apa untukku, Tuan Lelaki Tak Bernama?
Tak ada.
Sungguh tak ada selain memberikan darahmu yang mengalir deras di tubuhku sekarang. Ya, darah kita sama. Tentu saja sama. Darah yang mengalir di tubuhku sama dengan darahmu.
Kamu memang memberi aku kesempatan hidup di dunia ini, Tuan Lelaki Tak Bernama. Tapi, kamu tak memberi kehidupan itu sendiri padaku.
Dari Aku,
Seseorang yang kau aliri darahmu.
Percakapan dengan seorang teman. Di sabtu senja sambil menikmati Pancake dan Kopi. Terimakasih sudah berbagi.
0 komentar:
Posting Komentar