Suatu senja di Bukit Kecil.
Angin membelai kulit kita. Saat ini angin
memperlakukan kita sangat mesra. Kau
menatap mataku. Begitu dalam. Aku
tersenyum, kata kamu senyumku senyum terindah senja itu.
Aku tertawa kecil
mendengarnya dan kau menggeleng cepat. “Aku tidak bohong.“
aku tertawa lagi.
“Yang bilang kamu bohong siapa, Sugar?”
“Itu kau tertawa, seolah tak percaya.”
Aku mendekat, mendaratkan sebuah ciuman di pipimu. Kau terdiam. “Nah, itu
selalu menjadi cara terbaik mengakhiri setiap argumen-argumen kita, Sugar.” Aku
pun melangkah meninggalkanmu. Kau berekspresi pura-pura marah, memegang pipimu
lalu tertawa.
Sugar. Gula, kan? Manis. Itulah kamu. Selalu manis. Bukan
hanya karena kamu pandai sekali membuat puisi. Bukan pula hanya karena kamu
lelaki yang pernah memberi aku bunga. Tapi kamu adalah lelaki yang memberiku
sebuah mimpi kecil setiap pagi, sehingga aku selalu terbangun dengan
harapan-harapan baru. Menantikan pagi di penghujung malam. Kamu adalah salah
satu alasan aku terbangun di setiap pagi.
“Hey, bengong.“ Kau membuyarkan lamunanku.
Menyentuh lenganku pelan.
“Kamu tahu, Sugar. Aku sudah memimpikan piknik ini sejak seratus
tahun yang lalu. Dan kamu, berusaha mewujudkannya. Dan tadaaaaa. It happens!
Kamu memiliki andil yang sangat besar dalam membuat peri malang ini sangat bahagia, karena salah satu
mimpinya terwujud.”
“Heh?
Seratus tahun yang lalu?”
“Gak boleh protes, inget?”
“Hahaha. Aku inget, sayang. INFJ.”
Aku memukul bahumu. Kau tertawa, melingkarkan
tanganmu di pinggangku. Wajah kita berjarak amat dekat sekali sekarang. Aku
menunduk. Kau mencium kepalaku lembut. Lembut sekali.
***
Senja
itu langit biru. Semburat sinar matahari yang bersiap beranjak pergi terlihat
sangat indah. Kita berbaring bersisian di hamparan Bukit Kecil. Memandang
langit dalam diam. Buku-buku dan beberapa macam makanan kecil berserakan.
“Sugar…”
“Iya,
Sayang.”
“Aku
mau membacakan kamu sesuatu.” Aku bangun. Mengambil sebuah buku. Membuka
halamannnya dan mebaca pelan sebuah petikan cerita yang sangat indah.
“Kamu
dengar baik-baik ya, Sugar.” Kau mengangguk dan tanganmu membelai lembut
ujung-ujung rambutku. Aku pun mulai membaca perlahan.
“Aku
sampai di bagian bahwa aku jatuh cinta. Namun, orang itu hanya mampu kugapai
sebatas punggunggnya saja. Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya dan
tak akan pernah kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai
bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup
mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit,
awan atau hujan. Seseorang yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk
punggung karena kalau sampai ia berbalik, niscaya hatiku hangus oleh cinta dan
siksa.”
“Bagus, kan?”
“Iya, bagus sayang.”
“Itu tentang kamu, Itu juga tentang
aku. Kita berjarak, kita tak sanggup saling memiliki utuh. Tapi aku tak akan
pernah bertanya pada Tuhan mengapa. Karena bukan tanpa alasan pula Tuhan
mempertemukan kita. Suatu hari nanti mungkin kita akan mengerti.”
“Dengar. Aku…”
“Shhh..” Jariku menyentuh bibirmu.
“Sugar,
cukup untuk argumen-argumen kita kali ini. Aku…aku hanya ingin menyelesaikan
senja yang indah ini dengan satu penutup yang aku rasa kau pun suka.”
“Oya?
Apa itu sayang?” matamu berbinar-binar.
“Sebelum sunset nanti, kau memberikan sebuah
pelukan. Pelukan yang tak akan kau lepaskan selama kita masih melihat matahari
disini, lalu saat sunset, kau memberikan sebuah ciuman. Ciuman yang tak akan
kau lepaskan selama sunset, 47 detik, Sugar.”
“Hei.
Aku bisa memberikan ciuman lebih dari 47 detik, sayang.”
“Aku
tahu. Tapi mungkin tidak disini.”
“Dimana?”
“Bukan
di Bukit Kecil ini, Sugar.”
“Lalu
dimana, Sayang.”
“Setidaknya,
kita tak beralaskan rerumputan ini. Sesuatu yang lebih empuk mungkin ide
bagus.”
“Aku
tahu.”
“Ya,
tepat sekali. Feeling kamu selalu benar untuk urusan itu, Kau tahu itu, Sugar?”
“Jadi,
kita tunggu apa lagi?.
“Hey. Sabar. Kita masih harus
menyelesaikan senja ini. Menunggu sunset. Sebuah pelukan dan ciuman 47 detik
itu.”
Kau
merangkul bahuku. Dan aku menyelusupkan kepalaku ke dadamu. Senja itu indah
sekali. Suatu senja di Bukit Kecil.
Bandung, 13 Juli 2013
Jam 10 malem.
Beberapa jam setelah tarawih :D
*gak pake geblek tapi