Pages

Sabtu, 13 Juli 2013

Suatu senja di Bukit Kecil



 Suatu senja di Bukit Kecil.

Angin membelai kulit kita. Saat ini angin memperlakukan kita sangat mesra.  Kau menatap mataku.  Begitu dalam. Aku tersenyum, kata kamu senyumku senyum terindah senja itu. 
Aku tertawa kecil mendengarnya dan kau menggeleng cepat. “Aku tidak bohong.“
 aku tertawa lagi. “Yang bilang kamu bohong siapa, Sugar?” 
“Itu kau tertawa, seolah tak percaya.” 
Aku mendekat, mendaratkan sebuah ciuman di pipimu. Kau terdiam. “Nah, itu selalu menjadi cara terbaik mengakhiri setiap argumen-argumen kita, Sugar.” Aku pun melangkah meninggalkanmu. Kau berekspresi pura-pura marah, memegang pipimu lalu tertawa.
Sugar. Gula, kan? Manis. Itulah kamu. Selalu manis. Bukan hanya karena kamu pandai sekali membuat puisi. Bukan pula hanya karena kamu lelaki yang pernah memberi aku bunga. Tapi kamu adalah lelaki yang memberiku sebuah mimpi kecil setiap pagi, sehingga aku selalu terbangun dengan harapan-harapan baru. Menantikan pagi di penghujung malam. Kamu adalah salah satu alasan aku terbangun di setiap pagi.
“Hey, bengong.“ Kau membuyarkan lamunanku. Menyentuh lenganku pelan. 
“Kamu tahu, Sugar.  Aku sudah memimpikan piknik ini sejak seratus tahun yang lalu. Dan kamu, berusaha mewujudkannya. Dan tadaaaaa. It happens! Kamu memiliki andil yang sangat besar dalam membuat peri malang ini sangat bahagia, karena salah satu mimpinya terwujud.”
 “Heh? Seratus tahun yang lalu?”
“Gak boleh protes, inget?”
“Hahaha. Aku inget, sayang. INFJ.”
Aku memukul bahumu. Kau tertawa, melingkarkan tanganmu di pinggangku. Wajah kita berjarak amat dekat sekali sekarang. Aku menunduk. Kau mencium kepalaku lembut. Lembut sekali. 
***
            Senja itu langit biru. Semburat sinar matahari yang bersiap beranjak pergi terlihat sangat indah. Kita berbaring bersisian di hamparan Bukit Kecil. Memandang langit dalam diam. Buku-buku dan beberapa macam makanan kecil berserakan.
            “Sugar…”
            “Iya, Sayang.”
      “Aku mau membacakan kamu sesuatu.” Aku bangun. Mengambil sebuah buku. Membuka halamannnya dan mebaca pelan sebuah petikan cerita yang sangat indah.
           “Kamu dengar baik-baik ya, Sugar.” Kau mengangguk dan tanganmu membelai lembut ujung-ujung rambutku. Aku pun mulai membaca perlahan.
“Aku sampai di bagian bahwa aku jatuh cinta. Namun, orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggunggnya saja. Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan pernah kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan atau hujan. Seseorang yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik, niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa.”
“Bagus, kan?”
“Iya, bagus sayang.”
“Itu tentang kamu, Itu juga tentang aku. Kita berjarak, kita tak sanggup saling memiliki utuh. Tapi aku tak akan pernah bertanya pada Tuhan mengapa. Karena bukan tanpa alasan pula Tuhan mempertemukan kita. Suatu hari nanti mungkin kita akan mengerti.”
“Dengar. Aku…”
 “Shhh..” Jariku menyentuh bibirmu.
       “Sugar, cukup untuk argumen-argumen kita kali ini. Aku…aku hanya ingin menyelesaikan senja yang indah ini dengan satu penutup yang aku rasa kau pun suka.”
            “Oya? Apa itu sayang?” matamu berbinar-binar.
             “Sebelum sunset nanti, kau memberikan sebuah pelukan. Pelukan yang tak akan kau lepaskan selama kita masih melihat matahari disini, lalu saat sunset, kau memberikan sebuah ciuman. Ciuman yang tak akan kau lepaskan selama sunset, 47 detik, Sugar.”
            “Hei. Aku bisa memberikan ciuman lebih dari 47 detik, sayang.”
            “Aku tahu. Tapi mungkin tidak disini.”
            “Dimana?”
            “Bukan di Bukit Kecil ini, Sugar.”
            “Lalu dimana, Sayang.”
            “Setidaknya, kita tak beralaskan rerumputan ini. Sesuatu yang lebih empuk mungkin ide bagus.”
            “Aku tahu.”
            “Ya, tepat sekali. Feeling kamu selalu benar untuk urusan itu, Kau tahu itu, Sugar?”
            “Jadi, kita tunggu apa lagi?.
       “Hey. Sabar. Kita masih harus menyelesaikan senja ini. Menunggu sunset. Sebuah pelukan dan ciuman 47 detik itu.”
            Kau merangkul bahuku. Dan aku menyelusupkan kepalaku ke dadamu. Senja itu indah sekali. Suatu senja di Bukit Kecil.

Bandung, 13 Juli 2013
Jam 10 malem. 
Beberapa jam setelah tarawih :D 
*gak pake geblek tapi
           

0 komentar:

Posting Komentar