Alhamdulillah atas segala nikmat yang
Allah berikan. Baik yang tidak saya sadari maupun yang saya sadari. Baik yang
saya rasakan maupun yang luput dari rasa.
***
Bismillah.
Mesjid Nurul Huda kedatangan tamu
istimewa dari beberapa daerah. 9 orang yang berkelana untuk berdakwah. Mereka
‘mondok’ di mesjid kami selama 3 hari. Dan saya, diberikan anugerah kesempatan
oleh Allah untuk menjamu mereka dan tentunya berbincang-bincang. Belajar banyak
hal. Termasuk semakin paham bahwa berdakwah dan bermanfaat bagi orang banyak
itu bisa dengan jutaan cara.
Pagi itu saya merapikan buku-buku di
teras mesjid. (Oiya, saya belum bercerita
bahwa saya membuat “Ruang Baca Nurul Huda” di pelataran mesjid. Nanti saya
share yah.) Tamu-tamu istimewa itu sedang melakukan beberapa kegiatan yang
berbeda-beda. Ada yang sedang mencuci baju, ada yang sedang mengobrol, ada yang
sedang sarapan, dan lain-lain. Kami hanya bertegur sapa salam dan senyum
seperlunya. Lalu tenggelam dengan kegiatan masing-masing. Saya pun kembali
pulang ke rumah.
Namun sesampainya pulang ke rumah, yang
kebetulan jaraknya tidak jauh dari mesjid, terbersit untuk mengobrol dengan
salah satu dari mereka. Sebetulnya visi dan misi apa yang tengah mereka emban.
Saya tergerak untuk mencari tahu dan saya yakin, visi dan misi mereka mulia.
Saya pun kembali ke mesjid dengan membawa laptop. Maha Besar Allah yang telah
menggerakan hati saya ketika itu.
Saat itu ada seorang bapak yang paling
sepuh diantara tamu-tamu yang lain. Beliau sedang memotong roti. Saya menyapa
lalu berbincang. Ada seorang bapak lainnya sedang memakai kaos kaki seperti
tengah bersiap untuk pergi. Beliau memperkenalkan dirinya bahwa beliau orang
Bandung namun ikut mendampingi mereka. Namanya Bapak Hendar. Kami berbincang
dan saya mengatakan ketertarikan saya untuk mengobrol dengan salah satu santri.
“Saya suka menulis, Pak. Saya ingin share ke orang-orang tentang
kegiatan ini. Mengenai visi misinya.”
Bapak Hendar menyambut baik niat saya dan
memperkenalkan saya kepada seorang santri yang bernama Ustadz Abdul Majid.
Beliau berusia 24 tahun. Beliau seorang tahfidz. Dan untuk pertama kalinya,
Allah memberikan saya kesempatan untuk berbincang dengan seorang tahfidz.
Betapa bersyukurnya saya.
***
Awalnya Ustadz Majid, begitu kami
memanggilanya (walaupun beliau bilang panggil Madjid saja) merasa sedikit
bingung ketika saya bilang mau tanya-tanya beberapa hal. Tetapi akhirnya
percakapan berlangsung selama lebih dari satu jam. Obrolan mengalir lancar dan
seru. Bagi saya seru, entah bagi beliau. Hehehe. Lagi, Allah memberikan
beberapa jawabannya pada percakapan satu jam tersebut. Jawaban tentang
keingintahuan saya yang besar dan muncul akhir-akhir ini tentang menghapal
Alquran. Allah Maha Baik. Selalu.
Ustadz Majid mondok di Pesantren Al-Fatah
Temboro Magetan Jawa Timur. Anak ke-7 dari 11 bersaudara itu masuk pesantren
dengan keinginan sendiri. Alm ayah beliau memang menginginkan beberapa putranya
untuk menimba ilmu di pesantren. Almarhum adalah seorang guru dan pedagang yang
asli Sulawesi dan Bermukim di Sorong, Papua Barat. Karena di Papua belum ada
pesantren, maka dikirimlah ke pesantren daerah jawa timur.
***
Ternyata Alm
Ayah beliau pernah mengikuti satu kegiatan yang kegiatan inilah yang menjadi
ketertarikan Ustadz Majid untuk mondok di Pesantren Al Fatah. Kegiatan itu
ialah itikaf di mesjid selama 3 hari. Untuk me-refresh ilmu-ilmu syar’i dan
tentu saja saat kembali ke rumah, siap untuk mengamalkan ilmu tersebut. Itikaf
itu memberikan kesan mendalam bagi almarhum ayah beliau. Almarhum mengamalkan
bagaimana seharusnya memperlakukan istri dan bagaimana memperlakukan anak-anak
dengan lebih baik. Lalu setelah keluarga, bagaimana agar tetangga-tetangga kita
ikut menghidupkan kembali agama.
***
Untuk hasil obrolan saya selengkapnya dengan
beliau akan saya posting di postingan selanjutnya yaaaa.