Hasil BBM-an sama seorang teman:
(Setelah si teman update status
BBM nya dengan: “Ya Allah…tolong Hamba..”, saya mencoba bertanya ada apa.
Kalau-kalau ada hal yang perlu saya bantu.)
Saya: Kenapa, Ceu? Statusnya.
Teman: hehe, Engga apa-apa.
Pengen cepet kaya.
Saya: hehehe. Aamiin.
***
Percakapan itu memang hanya berhenti disana namun pikiran saya setelahnya
tak bisa behenti. Ada hal yang membuat saya terpaku beberapa detik tentang apa
yang disebut kaya raya, berkecukupan dan merasa cukup.
Saya sekarang adalah seorang istri yang sudah tidak bekerja kantoran
dengan gaji bulanan. Sekarang saya hanya memberi kursus private Bahasa Inggris
dan itupun hanya satu kelas, katakanlah. Otomatis banyak hal yang berbeda dari
kehidupan saya sejak empat tahun lalu (Mei ini 5 tahun, tepatnya) baik dari
segi keuangan dan penghasilan maupun kegiatan saya sekarang. Walaupun saya
masih mendapatkan honor mengajar, tidak sepenuhnya tanpa penghasilan sama
sekali yang jumlahnya bisa dibilang hanya sekitar 25% dari gaji bulanan yang
biasa saya terima, namun Alhamdulillah saya merasa cukup.
Alhamdulillah tawaran mengajar mengalir. Sebenarnya saya masih bisa
mengajar beberapa kelas lagi dan bisa juga berpenghasilan sama dengan bekerja
di kantor, namun setelah diskusi dengan suami, saya pun mengurungkan niat. Saya
pun terpaksa menolak dengan halus tawaran-tawaran tersebut.
***
Well, kembali lagi ah ke tiga
hal yang menari-nari di pikiran saya, kaya raya, berkecukupan dan merasa cukup
tadi ya. Menurut saya, tiga hal tersebut adalah sesuatu hal yang saling
berkaitan, yaitu hasil dari paradigma atau cara pandang saya. Ketika saya
merasa kekurangan uang, ingin ini-itu tapi belum punya uang untuk memebelinya,
otomatis saya merasa tidak kaya raya, bukan? Saya merasa ingin seperti orang lain
yang bisa punya ini-itu tadi. Namun, ketika saya mencoba membalikkan paradigma
berpikir saya bahwa saya masih sangat beruntung, punya tempat tinggal yang
nyaman, ada kendaraan yang walaupun sederhana tetapi masih bisa mengantar suami
mencari nafkah serta mengantar kami berjalan-jalan, ada makanan yang selalu
terhidang di meja makan walaupun tidak selalu daging mahal, banyak hal lain
yang tentunya saya akan merasa berkecukupan ketika saya membandingkan dengan
teman-teman lain yang belum tentu mempunyai hal tersebut. Alhamdulillah. Saya
pun ternyata berkecukupan. Malah lebih berkecukupan.
Hati ini otomatis akan membuat
saya selalu merasa cukup, berterimakasih dan bersyukur terhadap apa-apa yang
telah suami saya berikan. Ah, rasanya semua yang telah suami berikan berapapun,
apapun belum tentu saya mampu mebalasnya ketika ada keikhlasan di setiap peluh
dan doa-doa nya.
Saya ingin selalu menjadi istri
yang mempunyai sifat Qanaah, selalu merasa cukup. Saya tidak ingin membebankan
suami saya dengan hal-hal yang bersifat materi. Jika ingin sesuatu, saya ingin
belajar dengan menabung terlebih dahulu. Mempunyai kebijakan untuk membedakan
apa yang disebut dengan kebutuhan dan keinginan.
Namun ini bukan berarti saya dan
suami tidak mempunyai mimpi, cita-cita serta keinginan. Manusiawi ketika kita
menginginkan sesuatu namun tanpa melupakan dan tetap bersyukur dengan apa yang
sudah dimiliki dan saya sekarang kurang menyukai kata: “kaya raya”. Saya lebih
menyukai kata “kebahagiaan.” Menurut saya maknanya sama, dua-duanya bermakna
relatif dan tiap orang berbeda-beda, namun yang pertama terdengar terlalu
duniawi J
*ini pendapat saya loh.
***
0 komentar:
Posting Komentar