Pages

Minggu, 25 Mei 2014

Resensi Novel: Rahim



Rahim by Fahd Djibran

Namaku Dakka Madakka dari Ura. Jenis pekerjaanku: Pengabar berita dari Alam Rahim.
Asal kau tahu, ada kehidupan unik di di dalam rahim seorang ibu yang mengandung. Kehidupan yang bahkan lebih nyaman dan lebih menyenangkan daripada kehidupanmu di dunia. Kau memang tak mungkin mengingatnya. Sebab sebelum bayi-bayi dilahirkan ke dunia, mereka harus melewati terowongan Vaghana yang dipenuhi cairan kental yang membuat seluruh ingatanmu terhapus. Kau tak akan ingat lagi apa yang terjadi di Alam Rahim. Apapun yang pernah kau alami dan lewati disana.
Pada dasarnya aku orang biasa sepertimu. Seseorang yang memiliki ayah dan ibu. Memiliki keluarga dan tempat tinggal. Bedanya, aku utusan khusus. Aku berhasil melewati terowongan Vaghana tanpa lupa. Sebab, sebelum melewati terowongan itu, kerajaan sudah memberiku ramuan khusus penangkal cairan lupa yang berada di sekitar terowongan Vaghana.
Dan kini, disinilah aku, membawa tugas khusus yang mulia untuk mengembalikan kepercayaan dan sakralitas Alam Rahim di mata manusia.
***
Lewat buku ini Fahd Djibran mengajak kita untuk menyelami lebih dalam tentang kehidupan di dalam Rahim. Bahwa 9 bulan didalam Rahim, banyak hal yang terjadi. Bukan hanya mengenai perkembangan fisiologis semata dari sebuah fetus menjadi manusia sempurna. Pengetahuan ilmiah maupun spiritual tentang terciptanya mahluk hidup, dipaparkan sangat menarik oleh Fahd Djibran.
          Dalam alam rahim, sang bayi bermimpi bertemu tokoh-tokoh. Penokohan yang tersaji sangat menarik.  Melalui tokoh-tokoh tersebut pula muncul beberapa “ungkapan” bijak yang menohok namun tak bermaksud menggurui.
          “Jangan buang-buang waktu. Jangan boros terhadap waktu. Kau tahu, bahkan Raja Semesta bersumpah demi waktu. Jangan Sampai kau tak menghargainya. Tak menghargai waktu sama saja dengan tak menghargai Raja Semesta.”
 –Profesor Waktu-
          “Rahim” merupakan karya kedua dari Fahd Djibran yang saya baca setelah “Yang Galau yang Meracau”. Saya selalu suka gaya penuturan Fahd Djibran yang meletup-letup dan tidak biasa. Daya imajinasi sebagai pembukus pesan-pesan selalu tersemat dalam Novel-Novel Fahd Djibran.
Menikmati “Rahim” memberikan sesuatu amunisi untuk merenung kembali mengenai si empunya rahim itu sendiri, Ibu. Bagaimana pengorbanan Ibu saat rahimnya “dipinjam” sebagai tempat tinggal kita selama 9 bulan lamanya. Kadang, kita terlupa bahwa kita, sebagai anak, telah “merepotkan” ibu sejak kita didalam perut. Baik atau buruk, Ibu tetaplah Ibu. Wanita yang seharusnya kita junjung kehormatannya, kita cintai dan hargai sepenuh hati. “Bila kau sudah lama tak menemuinya. Pulanglah. Duduklah dihadapannya. Dekatkanlah lututmu dengan lututnya. Letakan telapak tanganmu di paha-paha sucinya. Lalu tataplah matanya dalam-dalam… Reguklah kesyahduan kasih sayangnya… Rasakanlah hingga merasuk ke dalam hatimu, jauh lebih dalam, jauh lebih dalam…
… sebelum dia pergi untuk selama-lamanya.”
***
Cerita-cerita pembuka sebelum ke dalam inti cerita tentang pemaparan “Alam Rahim” turut membuat saya merenung, bahwa beberapa pasangan di luar sana ada yang masih tidak mengharapkan kehadiran bayi dalam hidup mereka, pun ada pasangan yang sangat merindukan kehadiran sang bayi. That’s life. Selalu penuh keberagaman cara pandang.
Namun, inti dari perjalanan rahim ini sangatlah patut untuk kita ketahui, banyak kata yang sukses menampar saya berkali-kali. Betapa saya, sebagai seorang perempuan mempunyai tugas yang cukup berat dalam mendidik seorang anak sejak dalam Alam rahim namun pasti membahagiakan dan membanggakan sebagai seorang ibu kelak.
          Selamat ya, Fahd Djibran atas karya nya yang sangat saya kagumi ini. 4 bintang pantas saya sematkan pada novel Rahim ini. 
Berikut kalimat-kalimat yang mampu menarik perhatian saya;
Pada mulanya segala sesuatu adalah niat. Semacam benih yang tumbuh dari dalam hatimu. Pada saat seseorang berniat melakukan hal yang baik dan berniat menjauhi hal yang buruk; itu sudah satu kebaikan. Pada saat mereka membiarkan menimbang niat itu dengan kebebasan yang mereka miliki menggunakan akal pikiran mereka, perasan mereka, dan seterusnya kemudian tahu dan mengerti bahwa yang baik itu baik dan yang buruk itu buruk; itu dua kebaikan. Dan pada saat mereka melakukannya, mengerjakan hal yang baik dan menolak hal yang buruk; itu kebaikan yang bahkan lebih besar daripada seisi semesta!” ­
–Mahavatara-
          Masih banyak kata-kata ajaib yang tak kalah menarik dalam novel ini. Sila temukan sendiri. Happy Reading ^^

0 komentar:

Posting Komentar