#30harimenulis 2016
Tema: Cerita dengan latar tahun 1940-1945
LELAKI BERSOROT MATA TEDUH
Minggu lalu ada peristiwa menggemparkan di daerahku.
Bapak-bapak yang baru pulang sholat isya dari mesjid melihat sesosok wanita di
jembatan. Jembatan yang hanya terhalang lima rumah dari rumahku. Desas desus
mengatakan bahwa sosok perempuan itu hantu. Aku sih tak ambil pusing.
Kenapa sih harus takut sama hantu? Biasanya mereka hanya
ingin didengarkan. Iya, aku kadang bisa melihat dan merasakan keberadaan
mereka. Awalnya aku takut. Tapi lama-lama, aku sudah terbiasa.
Setelah kejadian
itu, suasana hening seperti tanpa penduduk setelah adzan magrib berkumandang.
“Mah… aku mau ke
tukang photocopy depan yah.” Ujarku
“Sekarang? Mau ngapain?.”
“Iya mau beli
kertas folio. Ada tugas.”
“Mau mama antar?”
“Enggak usah ah.”
“Yakin? Kamu enggak
takut….”
“Hantu perempuan
yang jadi trending topic? Enggak ah.”
“Ya sudah. Hati-hati.”
“Kamu kenapa?” Dua
kata itu berhasil meluncur dari bibirku. Aku iba melihat kesedihannya.
“Kamu melihat Pandu?
Lelaki bersorot mata teduh.” Aku menggeleng.
“Dia janji akan menemuiku
lagi.” Ujarnya sambil terisak.
….
….
***
Namaku Kintan. Usiaku delapan
belas tahun. Biasanya perempuan seusiaku sudah menikah. Bahkan ada yang sudah memiliki
empat anak. Aku berbeda. Aku belum tahu apa rasanya jatuh cinta. Yang aku tahu
ialah berita-berita di radio atau tentang film yang tengah diputar dan Dasima menjadi salah satu film yang
sedang ramai diperbincangkan.
“Ya? Mencari siapa?”
“Saya mencari Bapak
Adang. Beliau ada?”
Aku menggeleng.
Tak ada kata yang keluar dari bibirku.
***
Bandoengsche Holandsche Wangen
Geef geerust een zoen op een
Bandoengsche wang
En wees voor rood-afgeven daar
heusch niet bang,
Zoo’n rose wangetje is je reinste
natuur
En belist geen resultaat van een
Schoonheidskuur.
Kintan, tahukah engkau arti puisi
itu? Jika tidak, nanti aku beritahu saat kita jumpa.
Aku akan minta ijin Abah untuk
mengajakmu berjalan-jalan. Mau kah, Kintan?
***
Benar kata pepatah lama, bahagia selalu menjadi obat bagi
apapun. Tak terkecuali bagi tubuhku. Sejak kedatangannya, aku merasakan tubuhku
membaik. Abah dan emah pun melihat perubahanku dan merasa sangat gembira.
Sore yang sejuk. Ia meminjam motor rekannya. Setelah
meminta ijin pada abah dan emah, kami pergi. Kami berkeliling Bandung menelusuri
jalan Societeit, ia mengajakku ke
Toko De Vries, toko segala ada
terbesar di Hindia, membelikanku rok bunga-bunga peach.
Lalu kami berkeliling lagi ke Braga weg, saat melewati Toko Concurrent
di kanan jalan, ia mengatakan bahwa akan mengajakku kesana dan membelikanku
perhiasan. Aku hanya tersenyum. Pipiku menghangat. Kami meneruskan perjalanan
hingga ke Chineesche wijk.
Saat itu jalanan tampak ramai. Saat ini pasar yang buka
setiap hari adalah satu kemajuan bagi rakyat Bandung kala itu. Sebelumnya untuk
membuka pasar, harus ada ijin dari pemerintah kolonial. Ijinnya perhari,
makanya ada yang disebut hari pasar.
Pemukiman Tiongkok dan kegiatan pasar dilakukan di daerah
barat kota Bandung. Terpisah dengan pemukiman kaum Eropa di utara. Dan
pemukiman kaum pribumi di selatan. Semua suku bangsa lain pun banyak yang
pindah ke Bandung untuk berdagang. Karena Bandung selalu menawarkan peluang
usaha yang lebih menjanjikan.
Lalu kami melewati Pasar Baru. Disebut pasar baru karena
merupakan pindahan dari pasar lama di daerah Ciguriang yang habis terbakar pada
kerusuhan Munada di tahun 1842. Setelah kerusuhan Munada, para pedagang
berpencar tidak teratur. Sehingga dibuatlah Pasar Baru dekat Pecinan.
Perjalanan kami berhenti di Pieterspark. Ia memarkirkan motornya. Kami duduk di bangku taman. Ia
menatapku lekat seolah hari itu hari terakhir kami bertemu.
Dia lalu memberikanku secarik kertas dan mengatakan itu
arti puisi yang ia janjikan.
“Buka nanti saja di
rumah, Kintan.” Ucap lelaki bersorot mata teduh itu.
***
Sesampainya di kawasan rumahku, motornya mogok. Kami tergelak.
Aku pun turun dan kami berjalan sambil ia menenteng motor ke rumah. Karena
takut terlalu larut, ia mengantarkanku berjalan kaki tanpa memeriksa mesin
motornya terlebih dahulu.
“Nanti saja, takut
Abah dan Emah khawatir kita belum kembali. Hari hampir gelap.” Ujarnya.
Saat tiba di jembatan, ia menatapku lekat.
“Sudah, sampai sini
saja. Kasihan jika kau harus terus menenteng motor itu hingga ke rumah. Akan
kusampaikan pada Abah dan Emah motor kawanmu mogok.” Kataku.
“Sungguh tak apa-apa,
Kintan?”
“Iya, hari mulai
gelap. Pulanglah. Dan kau pun harus memperbaiki motor kawanmu itu kan?”
Ia mengangguk. Lalu menyerahkan plastik padaku. Berisi
rok bunga-bunga peach yang ia belikan tadi. Lalu ia mengatakan hal yang tak
akan pernah bisa kulupakan.
“Kintan, pakai rok
itu saat berjumpa aku nanti ya.” Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
“Kau tahu kenapa
warna itu yang kupilih? Itu mengingatkanku pada pipimu. Bersemu merah saat kamu
tersenyum.”
“Kapan kamu akan
datang lagi?”
“Tunggulah. Aku
pasti datang, Kintan.”
Sejak saat itu, aku menancapkan ucapan dan janjinya di
sanubariku. Tapi ia tak pernah datang lagi.
Aku tak pernah mendengar kabarnya cukup lama. Hingga
suatu sore yang mendung Abah memberikan kabar duka yang menyayat-nyayat hatiku.
Ia, lelaki dengan sorot mata yang teduh itu kembali ke pangkuanNya dalam
kecelakaan saat perjalanan pulang ke semarang.
Hariku pun kembali muram. Tapi aku masih menunggu janjinya. Persis
seperti yang ia katakan, ia ingin menemuiku lagi memakai rok bunga-bunga
berwarna peach. Dan aku masih menunggunya hingga saat ini. Walau aku tahu, ia,
lelaki bersorot mata teduh-ku itu tak akan pernah kembali
***
Pipi Belanda dari Bandung
Ciumlah suka hati pipi
Bandung, silahkan
Kelunturan pemerah tak perlu
dikhawatirkan
Pipi merah bandung sungguh asli
alami
Bukan pulasan salon mempercantik
diri
Kinan, aku akan ke Semarang dan
memberitahukan pada Ayah dan Ibu bahwa aku sudah menemukan calon istriku di
Bandung.
Dari,
Lelakimu
***
notes: puisi diambil dari googling (lupa alamat webnya) dan pernah digubah di majalah "Mooi Bandoeng" tahun 1940-an
0 komentar:
Posting Komentar