Pages

Kamis, 09 Juni 2016

Lelaki bersorot mata teduh



#30harimenulis 2016
Tema: Cerita dengan latar tahun 1940-1945

LELAKI BERSOROT MATA TEDUH

Minggu lalu ada peristiwa menggemparkan di daerahku. Bapak-bapak yang baru pulang sholat isya dari mesjid melihat sesosok wanita di jembatan. Jembatan yang hanya terhalang lima rumah dari rumahku. Desas desus mengatakan bahwa sosok perempuan itu hantu. Aku sih tak ambil pusing.

Kenapa sih harus takut sama hantu? Biasanya mereka hanya ingin didengarkan. Iya, aku kadang bisa melihat dan merasakan keberadaan mereka. Awalnya aku takut. Tapi lama-lama, aku sudah terbiasa.
 
 Setelah kejadian itu, suasana hening seperti tanpa penduduk setelah adzan magrib berkumandang.
“Mah… aku mau ke tukang photocopy depan yah.” Ujarku
“Sekarang? Mau ngapain?.”
“Iya mau beli kertas folio. Ada tugas.”
“Mau mama antar?”
“Enggak usah ah.”
“Yakin? Kamu enggak takut….”
“Hantu perempuan yang jadi trending topic? Enggak ah.”
“Ya sudah. Hati-hati.”

Saat akan melewati jembatan itu, bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Aku terus berjalan. Dan aku mendengar suara perempuan yang sedang menangis. Aku berhenti. Kakiku seolah terpaku. Dan sekarang samar-samar, aku melihat perempuan duduk di jembatan. Memakai rok bunga-bunga peach model lama. Rambutnya sebahu, ikal. Aku masih terpaku.

“Kamu kenapa?” Dua kata itu berhasil meluncur dari bibirku. Aku iba melihat kesedihannya.
“Kamu melihat Pandu? Lelaki  bersorot mata teduh.” Aku menggeleng.
“Dia janji akan menemuiku lagi.” Ujarnya sambil terisak.
….                              
….
***
Namaku Kintan. Usiaku delapan belas tahun. Biasanya perempuan seusiaku sudah menikah. Bahkan ada yang sudah memiliki empat anak. Aku berbeda. Aku belum tahu apa rasanya jatuh cinta. Yang aku tahu ialah berita-berita di radio atau tentang film yang tengah diputar dan Dasima menjadi salah satu film yang sedang ramai diperbincangkan.

Badanku ringkih. Aku mudah terserang demam. Abah dan Emah seolah mengurungku karena tidak ingin aku sakit. Maka jadilah aku yang sehari-hari hanya dihabiskan di dalam rumah.

Di suatu hari yang panas, aku masih berdiam di dekat jendela. Mendengarkan radio dan melihat lalu-lalang orang. Kudengar suara pintu diketuk. Abah dan Emah sedang ke bale-bale. Aku mendekati pintu perlahan. Ragu -ragu. Kubuka pintu dan ada sesosok lelaki tinggi membelakangiku.
“Ya? Mencari siapa?”

Saat dia membalikkan tubuhnya, entah kenapa jantungku mendadak berdetak lebih cepat. Dia tidak terlalu tampan. Tapi sorot matanya teduh. Tersenyum.
“Saya mencari Bapak Adang. Beliau ada?”
Aku menggeleng.
Tak ada kata yang keluar dari bibirku.
***
               
Dia adalah anak dari sahabat abah. Lelaki bersorot mata teduh itu berasal dari Semarang. Ke Bandung sekitar setahun yang lalu untuk belajar di Technische Hoogeschool . Sejak siang itu, aku tak pernah bisa melupakan sosoknya. Beberapa hari setelah ia mengunjungi kediaman kami, ia datang lagi.

Ia selalu berkata bahwa Abah dan Emah sudah ia anggap seperti orang tua kandungnya yang jauh di Semarang. Dan Abah dan Emah senang menerima kunjungannya. Seperti tiba-tiba punya seorang anak lelaki, begitu kata Abah.

Saat pulang, aku mengantar ia ke teras.  Lalu ia memberikanku secarik kertas. Tanpa bicara. Aku menerima kertas itu dengan gugup. Dia berpamitan. Aku segera bergegas ke kamar. Jantungku berdegup kencang seperti saat melihatnya pertama kali. Aku membuka kertas itu perlahan.

Bandoengsche Holandsche Wangen

Geef geerust een zoen op een
Bandoengsche wang
En wees voor rood-afgeven daar
heusch niet bang,
Zoo’n rose wangetje is je reinste natuur
En belist geen resultaat van een
Schoonheidskuur.

Kintan, tahukah engkau arti puisi itu? Jika tidak, nanti aku beritahu saat kita jumpa.
Aku akan minta ijin Abah untuk mengajakmu berjalan-jalan. Mau kah, Kintan?

***
Benar kata pepatah lama, bahagia selalu menjadi obat bagi apapun. Tak terkecuali bagi tubuhku. Sejak kedatangannya, aku merasakan tubuhku membaik. Abah dan emah pun melihat perubahanku dan merasa sangat gembira.

Sore yang sejuk. Ia meminjam motor rekannya. Setelah meminta ijin pada abah dan emah, kami pergi. Kami berkeliling Bandung menelusuri jalan Societeit, ia mengajakku ke Toko De Vries, toko segala ada terbesar di Hindia, membelikanku rok bunga-bunga peach.

Lalu kami berkeliling lagi ke Braga weg, saat melewati Toko Concurrent di kanan jalan, ia mengatakan bahwa akan mengajakku kesana dan membelikanku perhiasan. Aku hanya tersenyum. Pipiku menghangat. Kami meneruskan perjalanan hingga ke Chineesche wijk.

Saat itu jalanan tampak ramai. Saat ini pasar yang buka setiap hari adalah satu kemajuan bagi rakyat Bandung kala itu. Sebelumnya untuk membuka pasar, harus ada ijin dari pemerintah kolonial. Ijinnya perhari, makanya ada yang disebut hari pasar.

Pemukiman Tiongkok dan kegiatan pasar dilakukan di daerah barat kota Bandung. Terpisah dengan pemukiman kaum Eropa di utara. Dan pemukiman kaum pribumi di selatan. Semua suku bangsa lain pun banyak yang pindah ke Bandung untuk berdagang. Karena Bandung selalu menawarkan peluang usaha yang lebih menjanjikan.

Lalu kami melewati Pasar Baru. Disebut pasar baru karena merupakan pindahan dari pasar lama di daerah Ciguriang yang habis terbakar pada kerusuhan Munada di tahun 1842. Setelah kerusuhan Munada, para pedagang berpencar tidak teratur. Sehingga dibuatlah Pasar Baru dekat Pecinan.

Perjalanan kami berhenti di Pieterspark. Ia memarkirkan motornya. Kami duduk di bangku taman. Ia menatapku lekat seolah hari itu hari terakhir kami bertemu.
Dia lalu memberikanku secarik kertas dan mengatakan itu arti puisi yang ia janjikan.
“Buka nanti saja di rumah, Kintan.” Ucap lelaki bersorot mata teduh itu.
***

Sesampainya di kawasan rumahku, motornya mogok. Kami tergelak. Aku pun turun dan kami berjalan sambil ia menenteng motor ke rumah. Karena takut terlalu larut, ia mengantarkanku berjalan kaki tanpa memeriksa mesin motornya terlebih dahulu.

“Nanti saja, takut Abah dan Emah khawatir kita belum kembali. Hari hampir gelap.” Ujarnya.
Saat tiba di jembatan, ia menatapku lekat.
“Sudah, sampai sini saja. Kasihan jika kau harus terus menenteng motor itu hingga ke rumah. Akan kusampaikan pada Abah dan Emah motor kawanmu mogok.” Kataku.
“Sungguh tak apa-apa, Kintan?”
“Iya, hari mulai gelap. Pulanglah. Dan kau pun harus memperbaiki motor kawanmu itu kan?”
Ia mengangguk. Lalu menyerahkan plastik padaku. Berisi rok bunga-bunga peach yang ia belikan tadi. Lalu ia mengatakan hal yang tak akan pernah bisa kulupakan.

“Kintan, pakai rok itu saat berjumpa aku nanti ya.” Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
“Kau tahu kenapa warna itu yang kupilih? Itu mengingatkanku pada pipimu. Bersemu merah saat kamu tersenyum.”
“Kapan kamu akan datang lagi?”
“Tunggulah. Aku pasti datang, Kintan.”
Sejak saat itu, aku menancapkan ucapan dan janjinya di sanubariku. Tapi ia tak pernah datang lagi.

Aku tak pernah mendengar kabarnya cukup lama. Hingga suatu sore yang mendung Abah memberikan kabar duka yang menyayat-nyayat hatiku. Ia, lelaki dengan sorot mata yang teduh itu kembali ke pangkuanNya dalam kecelakaan saat perjalanan pulang ke semarang.

Hariku pun kembali muram.  Tapi aku masih menunggu janjinya. Persis seperti yang ia katakan, ia ingin menemuiku lagi memakai rok bunga-bunga berwarna peach. Dan aku masih menunggunya hingga saat ini. Walau aku tahu, ia, lelaki bersorot mata teduh-ku itu tak akan pernah kembali
***

Pipi Belanda dari Bandung

Ciumlah suka hati pipi
Bandung, silahkan
Kelunturan pemerah tak perlu dikhawatirkan
Pipi merah bandung sungguh asli alami
Bukan pulasan salon mempercantik diri

Kinan, aku akan ke Semarang dan memberitahukan pada Ayah dan Ibu bahwa aku sudah menemukan calon istriku di Bandung.

Dari,



Lelakimu

***

notes: puisi diambil dari googling (lupa alamat webnya) dan pernah digubah di majalah "Mooi Bandoeng" tahun 1940-an

0 komentar:

Posting Komentar