Pages

Minggu, 05 Juni 2016

Penduduk Jepang hampir punah

#30harimenulis 2016

tema hari ke-5: berita yg kamu baca hari ini dan pendapatmu mengenainya.

*ubek-ubek berita online*

*ubek-ubek lagi*

Belum ada yang pengen saya komentarin.

Lalu hati ini jatuh pada foto senyum anak lelaki kecil bermata sipit. Sedang mengacungkan dua jarinya tanda "peace" headline di bawahnya bertajuk: "Permintaan maaf dari ayah yang meninggalkan anaknya di hutan."

APA??
Saya pun berkeinginan untuk tahu lebih banyak isi beritanya. Ada beberapa link yang saya buka terkait dengan berita tersebut.

Jadi, awalnya orang tua anak tsb enggak ngaku kalau sengaja meninggalkan anaknya. Hanya lapor kehilangan anak di hutan. Hati nurani emang enggak bisa bohong. Mungkin karena dihantui rasa bersalah, akhirnya orang tua tersebut mengaku bahwa anaknya ditinggal sebagai hukuman karena nakal.

Selama seminggu Yamato Tanooka, 7 tahun, bertahan hidup di hutan hanya dengan minum air selama sepekan. Banyak pihak yang terlibat dalam pencariannya. Dan akhirnya ia ditemukan dekat barak militer.

Penemuan Yamato bahkan dianggap keajaiban karena Jepang tengah memasuki musim dimana buah dan sayuran yang dapat dikonsumsi sulit ditemukan.

Sebelum sok-sok menghakimi orang tua Yamato (yang walaupun wajar kalau menganggap tindakan menghukum anaknya enggak lucu), saya berusaha untuk mencari-cari referensi tentang gimana sih orang-orang menganggap anak atau pernikahan itu.

Dulu saya punya teman orang jepang yg mengatakan bahwa buat orang jepang menikah apalagi punya anak adalah suatu hal yang dianggap beban banget. Bikin mikir ribuan kali sebelum memutuskan menikah apalagi punya anak.

Dan saya menemukan artikel yang mengiyakan hal tersebut. Bahkan orang Jepang terancam hampir punah karena penduduknya malas menikah. Sebagian menganggap karena mereka lebih mementingkan pekerjaan atau pendidikan daripada rumah tangga.

Ini yang paling bikin bulu kuduk merinding. Ai Aoyama penasihat Jepang terkenal mengatakan bahwa :
"Benar sekali anak muda Jepang malas sekali atau enggan menikah, baik laki-laki maupun wanita. Yang lelaki tampaknya seperti ingin menjadikan wanita seperti binatang peliharaan."

Huffttt. Miris. Ah syudalah. Again, setiap orang boleh punya standard dan nilai-nilai yang mereka anut seperti apa. Yang jelas saya tidak mengamini tindakan tersebut.

Balik lagi tentang anak yang dihukum dengan ditinggal di hutan, saya jadi manggut-manggut sekarang. Fakta-faktanya jelas. Anak dianggap beban. Budaya Indonesia yang menganggap banyak anak banyak rejeki jelas berbeda sama budaya Jepang.

Setelah baca berita ini tiba-tiba saya semakiiin bersyukur diajak nikah cepat pada waktu itu oleh suami saya. Loh?? Loh iya kan.. seengganya suami saya berani mengambil resiko untuk mengemban tanggungjawab berumahtangga yang memang sangatlah berat. Yang orang Jepang anggap menyusahkan.

*keprok buat semua lelaki yang gentleman melamar pujaan hatinya. Menikahinya dan berjanji membahagiakannya.*Uhukkk

Sekian.
**Peluk dulu suami tercinta kalian terus bilang: Makasiiiih udah lebih berani daripada orang Jepang. hehehe.

0 komentar:

Posting Komentar